Membaca
Masa Depan Institusi Politik dan Ekonomi Republik Rakyat Tiongkok
Source picture google
Oleh : Alif Muhammad
Iqbal
Sejarah Terbetuknya
Republik Rakyat Tiongkok
Negara
dibentuk oleh sekelompok orang untuk mencapai
tujuan yang ingin dicapai bersama,
begitu juga dengan Tiongkok. Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) memiliki
cara untuk mencapai tujuan tersebut
dengan menerapkan suatu kebijakan, kebijakan pemerintah setiap negara
memiliki perbedaan tetapi tujuannya sama
untuk mensejahterakan warganya.
Republik
Rakyat Tiongkok (RRT) merupakan salah satu Negara yang cukup tua di asia,
negara ini besar karena sejarah panjang dan banyak dinasti yang memerintah
negara ini, hingga terbentuknya pemerintahan republik tahun 1908 dibawah
pemerintahan nasionalis yang dipimpin
Dr. Sun Yat Sen . Perang saudara sempat melanda negara yang memiliki jumlah
penduduk yang banyak dan wilayah yang luas ini, dimana perang ini terjadi
antara kaum nasionalis dan komunis yang sama-sama berjuang untuk menegakan
kedaulatan negaranya melawan bangsa asing. Berakhirnya perang saudara diakhiri
dengan terbentuknya negara Republik Rakyat Tiongkok yang berhaluan komunis.
Mao
De Zong pada 1 oktober 1949 mengumumkan terbentuknya negara Republik Rakyat
Tiongkok (RRT) dan dipilih sebagai Presiden dengan dibantu oleh enam wakil :
istri Dr.Sun Yat Sen, (Song Qingling), Zhu de, Li Qishen, Zhang Lan, Liu
Saoqi dan Gao gang.
Setelah
pernyataan berdirinya Republik Rakyat China, Uni Soviet segera memberikan pengakuan kedaulatannya
atas RRT dan memutuskan hubungan
diplomatiknya dengan pemerintahan Nasionalis Tiongkok. Negara negara satelit
Uni Soviet ikut menyatakan pengakuan kedaulatan bagi RRT. India merupakan Negara di luar blok Soviet
yang pertama kali memberikan pernyataan kedaulatan atas RRT, tepatnya pada
tanggal 30 Desember 1949. Pada tanggal 6 Januari 1950 Inggris menyatakan
pengakuan kedaulatan terhadap RRT
sehingga Inggris merupakan negara demokratis Barat pertama yang mengadakan hubungan dengan
pemerintahan komunis Tiongkok.
Sejarah Partai Komunis Tiongkok
Partai
Komunis Tiongkok PKT adalah barisan pelopor lapisan buruh Tiongkok, sementara
itu adalah barisan pelopor rakyat Tiongkok dan etnis Tionghoa, merupakan inti
pimpinan usaha sosialisme yang mempunyai keistimwaan tiongkok, mewakili
permintaan perkembangan daya produksi Tiongkok yang maju, arah maju kebudayaan
maju Tiongkok, dan mewakili kepentingan pokok rakyat Tiongkok yang paling luas.
Ide
tertinggi dan target terakhir PKT adalah perwujudan komunisme. Darma PKT menentukan
bahwa PKT merupakan Maksime, Leninsme, Pikiran Mao Zedong dan teori Deng
Xiaoping serta pikiran “tiga mewakili” sebagai petunjuk aksi diri sendirinya.
PKT
beridri pada Juli tahun 1921. Dari tahun 1921 sampai 1949, PKT memimpin rakyat
Tiongkok untuk mengadakan perjuangan yang sulit, menggulingkan pengusaan
komersilisme, feodalisme dan kapitalisme, mendirikan Republik Rakyat tiongkok.
Setelah berdirinya negara, PKT memimpin rakyat berbagai etnis untuk memelihara
kemerdekaan dan keamanan negara, dan mengadakan pembangunan sosialime yang
berencana agar usaha ekonomi dan kebudayaan Tiongkok memperoleh perkembangan
yang tak pernah ada dalam sejarah.
Sejak
Oktober tahun 1976, Tiongkok memasuki masa perkembangan historic yang baru. PKT
melaksanakan kebijkan reformasi dan keterbukaan terhdapa dunia luar yang
diprakarsai Deng Xiaoping. Sejak dilaksanakan kebijakan tersebut, ekonomi
nasional dan perkembangan sosial Tiongkok mencapai prestasi yang nyata.
PKT
Tiongkok berpendapat bahwa dengan positif mengadakan hubungan terhadap luar
negeri, berupaya memperoleh lingkungan internasional yang bertuntung kepada
reformasi dan keterbukaan terhadap dunia luar dan pembangunan modern Tiongkok.
Dalam ususan internasional, PKT berpegang teguh pada kebijakan yang mandiri dan
hidup berdampingan secara damai, memelihara kemerdekaan dan kedaulatan
Tiongkok, menentang hegemonisme dan politik kekuasaan kuat, memelihara
perdamaian dunia, mendorong kemajuan umat manusia. Kini PKT telah memelihara
hubungan bersahabatn dengan 300 lebih partai politik dari 120 negara.( http://indonesian.cri.cn/chinaabc/chapter2/chapter20401.ht)
Pengaruh PKT dan
Netralitas Terhadap Birokrasi di Tiongkok.
Dai
Guofang pendiri dari perusahaan yang bernama Jiangsu Tieben Iron dan Steel
sudah menangkap tanda-tanda akan terjadinya ledakan penduduk di perkotaan
Tiongkok. Jaringan jalan raya, pusat-pusat bisnis, permukiman serta
gedung-gedung tinggi menamur diera 1990-an, dan Dai yakin tren tersebut dalam
satu decade berikutnya akan semakin menjadi-jadi .
Dia yakin perusahaan yang
dibentuknya bisa menguasai pangsa pasar
sebagai penyedia besi dan baja dengan harga yang murah, jauh lebih murah
dari para pesaingnya , pabrikan besi baja milik pemerintah yang terkenal tidak
efisien. Dai sudah merencanakan untuk membentuk sebuah perusahaan baja raksasa,
dan dengan dukungan penuh para petinggi partai komunis local di Changzhou, dia
mengawali pembangunan proyeknya pada tahun 2003. Tetapi apa lacur, memasuki
bulan maret 2004 proyek kontruksi pabrik miliknya dihentikan atas perintah
partai komunis di Beijing, lalu dia ditangkao dengan alasan yang jelas. Boleh jadi para petinggi pemerintahan
semula yakin bahwa mereka bisa mencari-cari alasan atau bukti yang memberatkan
Dai.
Akhirnya ia harus menghabiskan waktu lima tahun dipenjara lalu berubah
statsunya menjadi tahanan rumah setelah dinayatakan bersalah atas tuduhan
pelanggaran yang sangat remeh pada tahun
2009. Kejahatan Dai yang sesungghnya adalah membuat proyek besar yang
dikhawatirkan akan menyaingi perusahaan milik negara tanpa persetujuan elite
petinggi partai komunis.
Chen
yun, salah satu teman dekat Deng Xioping yang juga dikenal sebagai arsitek
penting dari gerakan reformasi pasar di Tiongkok, menggambarkan perekonomian di
Tiongkok itu seperti seekor burung di dalam sangkar. Perkonomian Tiongkok
itulah burungnya, sementara sangkar yang menerungku dia dalah partai komunis;
sangkar itu harus dilebarkan agar si burung lebih sehat dan dinamis, namun
tidak boleh dibuka pintunya, sebab burung itu akan tterbang dan lepas kendali.
Meski saat ini banyak perusahaaan besar swasta yang beroperasi di Tiongkok,
sejumlah besar elemen perkonomian masih dikendalikan serta diproteksi oleh
partai komunis.
Jurnalis Richard McGregor pernah melaporkan bahwa dimeja
petinggi perusahaan-perusahaan besar di Tiongkok, selalu terdapat pesawat
telepon berwarna merah. Kalau telepon itu bordering dapat dipastikan si
penelepon merupakan petinggi partai yang memberikan arahan dan intruksi
mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh perusahaan , di bidang apa ia
harus berinvestasi , dan apa saja target yang harus dipenuhi . Fakta yang
menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan raksasa itu masih dikendalikan oleh
partai membuat kita maklum mengapa partai bisa me-reshuffle para CEO perusahaan , memecat atau mempromosikan mereka
tanpa banyak memberi keterangan.
Banyak
yang berpikir bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang spektakuler semenjak
dipimpin Deng Xioping yang banyak melakukan reformasi radikal akan menumbuhkan benih-benih demokrasi dan
pluralisme. Ada tanda-tanda gelombang unjuk rasa di Tiananmen tahun 1989 akan
mengasilkan keterbukaan politik atau bahkan berakhirnya rezim komunis. Namun
kenyataannya berbeda kendaraan lapis baja dikerahkan untuk melumat para
demonstran. Buku-buku sejarah juga mencatat kejadian di lapangan Tiananmen bukan lagi demostrasi yang tertib dan damai ,
melainkan adalah sebuah pembantaian yang dikenal sebagai tragedy Tiananmen.
Dalam banyak hal, pemerintah Tiongkok malah menjadi semakin represif setelah
terjadinya pembantaian demonstran itu; tokoh-tokoh seperti Zhao ziyang, yang
ketika itu menjabat sebagai sekjen partai komunis, disingkirkan karena dianggap
berpihak kepada para mahasiswa demostran yang menggelar unjuk rasa di
Tiananmen. Selanjutnya partai komunis semakin getol memberangus hak rakyat
maupun media massa untuk bersuara dan beropini. Zhao Ziyang dikenai status
tahanan rumah lebih dari lima belas tahun lamanya, catatan publiknya dihapus,
sehingga dia kini bahkan bukan lagi tokoh ikon bagi pihak-pihak yang mendukung
perubahan politik Tiongkok.
Dewasa
ini, kontrol partai komunis terhadap media, termasuk internet luar biasa
ketatnya. Hebatnya, ini terjadi berkat “kesadaran” para awak media yang menyensor
sendiri tulisan-tulisan mereka. Para pemilik media tahu bahwa mereka diharamkan
menyebutkan nama Zhao Ziyang atau Liu Xiaobo, tokoh-tokoh pengkritik pemerintah
yang tak bosan-bosannya menyerukan tuntutan demokratisasi.
Kepatuhan
awak media untuk menyensor sendiri tulisannya maupun liputannya didukung oleh
jaringan aparat yang dengan ketat memonitor percakapan dan komunikasi di
Tiongkok, yang berwenang memblokir situs- web atau memberendel koran dan secara
selektif memblokir oorang-orang tertentu
agar tidak mengakses berita dari internet. Ketatnya kontrol terhadap media itu
terbukti nyata ketika pada tahun 2009 menyebar berita mengenai kasus kasus
korupsi yang menyeret Hu Jianto, seorang putra sekjen partai komunis, padahal
kasusnya sudah merebak sejak tahun 2002. Ketika kasus itu sedang
panas-panasnya, aparat pengawas media bergerak sigap agar media massa di
Tiongkok jangan sampai mengendus atau mengekspos berita tersebut dan bahkan
secara selektif bisa memblokir berita-berita seputar kasus itu di website New York Times dan Financial Times .
Selain
mengontrol ketat media massa, baru-baru ini pemerintah komunis Tiongkok Pada 14
Juni 2014, Cina menerbitkan “Ikhtisar Rencana Pembangunan Sistem Kredit
Sosial”. Isinya kurang lebih adalah tentang bagaimana negara memanfaatkan big
data para warganya untuk membuat takaran kelayakan penduduknya, bukan cuma
dalam mendapat kredit, tapi juga seluruh aspek hidup mereka. Meskipun kebijakan
ini baru akan diterapkan pada 2020 nanti, warga Tiongkok harus bersiap data pribadinya
dikontrol oleh negara sehingga kesempatan berkarier, hingga kelayakan dapat
diskon hotel, tiket transportasi, hingga rental mobil juga akan ditentukan skor
yang diperoleh. (https://tirto.id/pakai-sistem-skor-cara-horor-cina-mengontrol-warganya-cBps)
Akibat
ketatnya kontrol partai terhadap berbagai aspek seperti institusi ekonomi dan politik potensi
munculnya gelombang penghancuran kreatif bisa ditekan semaksimal mungkin, dan
stabilitas politik akan terus terjaga hingga terjadinya reformasi politik yang
radikal. Seperti halnya Uni Soviet, fenomena pertumbuhan ekonomi Tiongkok dibwah
kekuasaan institusi politik ekstraktif itu bisa terjadi karena rezim yang
berkuasa leluasa melakukan poltik tambal sulam seperti mengimpor teknologi
asing dan mengekspor produk-produk murahan ke pasar internasional.
Teori
modernisasi menyatakan bahwa semua masyarakat
atau bangsa yang tumbuh berkembang selalu mengarah ke kehidupan atau
peradaban yang maju, modern dan beradab, dan terutama mengarah pada demokrasi.
Sikap Amerika Serikat pada masa kepemimpinan George H. Bush mengenai
antuasiasme pemerintahnya terhadap perkembangan demokrasi di Tiongkok adalah
biarkan Tiongkok untuk tetap berdagang secara bebas dengan negara barat maka
bangsa itu akan berkembang, dan pertumbuhan ekonomi nisacaya akan membawa
demokrasi dan perbaikan institusi
ekonomi dan politik disana, sesuai dengan apa yang diprediksi teori
moderninasi.
Akan tetapi, peningkatan volume dagang antara Amerika Serikat dan
Tiongkok sejak erra 1980-an tak sedikitpun berdampak terhadap demokrasi di
Tiongkok, dan diperkirakan meningkatnya partisipasi Tiongkok di pasar bebas
pada masa mendatang juga tidak akan banyak mempengaruhi kualitas demokrasi di
negara ini, dan hal ini terbukti saat pemerintah Tiongkok akan menggunakan
kebijakan system kredit sosial pada 2020 nanti, dimana dengan memanfaatkan
teknologi big data, pemerintah Tiongkok akan mengawasi warga negaranya secara
ketat.
Kesimpulan
Kesimpulan
yang digarisbawahi dari pengaruh Partai Komunis Tiongkok yang notabene
merupakan partai tunggal disana terhadap sistem birokarsi di negara tersebut
adalah.
Pertama, pertumbuhan
ekonomi dibawah rezim otoriter ekstraktif di
Tiongkok, meskipun bisa dipertahankan selama beberapa saat, tidak akan menjadi
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan yang didukung oleh institusi inklusif
dan disertai oleh gelombang pengancuran kreatif. Kedua, mustahil kita bisa mengharap bahwa pertumbuhan ekonomi
dibawah institusi ekstraktif dapat menumbuhkan demokrasi atau institusi yang
inklusif. Tiongkok, Rusia, dan beberapa rezim otoriter lainnya yang dewasa ini
bisa meraih pertumbuhan ekonomi, kemungkinan akan mecapai titik jenuhnya
sebelum mereka mentranformasikan dirinya menjadi institusi yang lebih
inklusif—bahkan sebelum para elite politik memiliki niat kearah itu atau
didesak oleh rakyat untuk melakukan perubahan. Ketiga, dalam jangka panjang pertumbuhan dibawah kekuasaan
institusi ekstraktif otoriter bukanlah pilhan yang ideal, dan tidak selayaknya
untuk didukung untuk dijadikan model pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara
Amerika Latin, Asia, dan sub-Sahara Afrika, meski banyak negara yang meiliki
opsi tersebut karena skema ini kadang-kadang konsisten dengan kepentingan para
elite ekonomi dan politik yang berkuasa disana.
Daftar Pustaka
Acemoglu,
D., and J. A. Robinson. 2012. Why Nations Fail: The Origins of. Power,
Prosperity, and Poverty.