-->

Sunday 12 November 2017

SECERCAH CINTA


SECERCAH CINTA
Oleh    : Ayola Violenta Mutidewi
Ketika jam menunjukan pukul lima pagi, aku segera terbangun. Hari ini aku bangun lebih siang dari biasanya. Setelah salat subuh aku segera mandi dan berpakaian. Lalu tanpa sarapan, aku pamit kepada nenek, ayah, bunda, dan adikku. Aku berniat sarapan di sekolah. Berangkat sekolah, aku naik angkutan kota.Namaku Seila Luciana. Aku bersekolah di SMAtertua di kotaku dan kini aku duduk di kelas sebelas.
Saat sampai di sekolah, bel pelajaran pertama berbunyi. Untungnya aku tidak telat. Tapi, pelajaran pertama adalah pelajaran Olahraga. Sedangkan aku belum mengganti seragam dengan baju olahraga.
“La, kamu belum ganti baju? Nanti dimarahin loh!” seru Cesil dikejauhan.
“Iya nih, tolong temenin aku ya, aku mau ganti baju dulu” pintaku.
Tanpa basa-basi lagi, aku segera mengganti bajuku di toilet sekolah.
Saat aku keluar dari toilet, Cesil tidak ada. Kulihat semua teman sekelasku sedang berolahraga di lapangan. Aku bergegas menuju lapangan sesaat setelah menyimpan seragamku di kelas.
“Seila, kenapa kamu telat?” gertak Pak Ari.
“I...iya Pak, maaf tadi saya baru ganti baju” jawabku.
“Yasudah, sekarang kamu lari mengelilingi lapangan tujuh putaran!” sentak Pak Ari lagi.
“Tujuh putaran Pak, tapi...” aku mencoba meminta keringanan.
Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, Pak Ari kembali melotot. Dan aku mengambil posisi untuk berlari.
Bel berbunyi, mengatakan bahwa pelajaran kedua akan segera dimulai. Masih ada waktu dua jam pelajaran olahraga. Keringat terus membasahi keningku dan juga punggungku. Aku masih terus berlari menyelesaikan hukumanku. Dan kini tinggal satu putaran lagi.
Tiba-tiba kepalaku pusing. Semakin lama semakin pusing. Pandanganku pun menjadi buram, remang-remang terlihat seorang laki-laki sebaya denganku berlari kearahku. Kemudian BRUK!, aku terjatuh dan pandanganku menjadi gelap.
“Seila...Seila, bangun kumohon” pinta laki-laki itu.
“Cepat bawa ke UKS” kata Pak Ari panik.
Lalu laki-laki itu menggendongku ke UKS.
Entah sudah berapa menit aku tak sadarkan diri. Aku sudah siuman. Kulihat Prili, Cesil, dan tentu saja Puri, ada disamping tempat tidur UKS.
“Kamu enggak apa-apa?”
“Iya, udah mendingan kok. Kalian ngapain disini?”
“Ye, bukannya terima kasih udah dijagain malah nanya yang gak penting!”
“Oh iya, tadi yang bawa aku kesini siapa?” tanyaku penasaran.
“Emh, kita ke kelas yuk!” kata prili sedikit gugup.
Aku dan temanku kambali ke kelas. Setibanya di kelas aku masih memikirkan sosok laki-laki yang menghampiriku saat akan jatuh pingsan.  Ada yang memanggilku saat aku baru saja duduk. Elena mendekatiku, entah apa yang dia pegang yang jelas dia memberikannya padaku. Elena termasuk teman semejaku saat kelas sepuluh.
“Ini, ada yang minta aku ngasih ini. Aku balik ke kelas dulu ya!Cepet sembuh.”
“Tunggu, ini dari siapa?”
“Nanti kamu juga tahu.”
Seiring Elena berjalan menjauh, aku mulai membuka bungkusan yang dibawanya. Ternyata dia membawakan aku bubur ayam. Sebenarnya siapa yang udah ngasih ini?. Dan juga siapa yang membawaku ke UKS?. Apa dia orang yang sama?. Mengapa semua temanku seolah membantu menyembunyikan identitasnya?. Semua pertanyaan-pertanyaan bermunculan dibenakku. Ini semua membuatku pusing.‘Ah, sudahlah jangan dipikirkan’, batinku.
Setelah melahap habis bubur ayam tersebut, aku kembali berbincang dengan temanku. Mulai dari masalah cinta hingga persiapan menghadiri pesta tahunan ulang tahun sekolahku tercinta, semuanya dibahas.
“Kalian mau bawa siapa ke pesta?”
“Entahlah, mungkin aku datang sendiri.”
“Iya mungkin aku juga sendiri.”
“Seila, bukannya kamu suka sama Fahri? Kenapa gak bareng aja?”
“Ya aku suka, tapi kayanya Fahri gak suka sama aku. Dia cuek sama aku. Lagian kemarin kata Elena, Fahri udah punya pasangan buat ke pesta.”
Pesta tahunan ulang tahun sekolah akan diadakan Sabtu ini. Sedangkan sekarang hari Kamis. Tersisa waktu sehari untuk mempersiapkannya. Hingga saat ini aku tidak tahu akan datang dengan siapa, mungkin terpaksa aku datang sendiri. Aku sangat antusias dengan kegiatan ini. Rencananya besok aku dan Prili akan membeli gaun untuk ke pesta. Sedangkan Puri dan Cesil, mereka sudah mempunyai gaun yang cantik.
Keesokan harinya sepulang sekolah, Prili dan aku berjalan kearah timur sekolah. Karena toko baju yang dituju tidak terlalu jauh. Aku hanya membawa uang tabunganku yang susah payah aku kumpulkan. Entah uang itu cukup atau tidak, yang jelas aku ingin membeli gaun. Sesampainya di toko baju, aku segera melihat gaun-gaun yang digantung.
“Seila, yang ini cantik gak?”
“Cantik sih, tapi kamunya kurang tinggi.”
“Aduh yang mana ya. Tapi kalo kepanjangan juga pake sepatu hak tinggi.”
“Yaudah terserah kamu.”
Prili pergi meninggalkanku, ia kembali disibukan dengan mencari gaun yang lebih pas. Aku terhenyak ketika melihat jam tanganku menunjukan pukul tiga sore. Aku belum menemukan gaun yang cocok denganku. Kulihat harga gaun disini rata-rata pas dengan uang yang aku bawa.
Ponselku jatuh. Saat akan mengambilnya, tidak sengaja aku menyenggol patung yang sedang mengenakan gaun berwarna biru muda selutut dan anting-anting serta kalung yang elegan. Untung saja patung itu tidak jatuh.
“La, udah dapat gaunnya?”
“Udah kok, yang ini.”
Aku mengambil gaun yang digantung sebelah patung itu. Model dan warnanya sama. Harganya pun terjangkau, aku langsung membelinya. Uangku habis, hanya tersisa untuk ongkos pulang. Sementara Prili dijemput pacarnya, aku pulang naik angkutan kota lagi. Aku lupa, aku belum membeli aksesoris untuk dipakai besok. ‘Ya Tuhan, mengapa aku lupa? Apa karena uangku habis?’, batinku.
Pesta tahunan ulang tahun sekolah akan dimulai sore hari hingga malam hari. Karena itu Sabtu ini sekolah sengaja diliburkan. Tentunya untuk menyiapkan pesta tahunan ulang tahun sekolah. Pagi ini aku segera membantu bunda membereskan rumah. Ketika aku sedang menyapu teras depan, seorang kurir mengantarkan sebuah box untukku. Ketika kubuka box itu, ada sebuah catatan kecil dadalamnya.
‘Untuk Seila. Kadonya dipakai ya. Aku menantimu dipesta.’
Di dalam box itu juga terdapat sebuah kalung dan cincin yang sederhana namun elegan. ‘wah, sayang kalo gak dipake’ pikirku.
Sore ini aku sudah bersiap, memakai gaun baru, make-up yang sederhana, dan tak lupa pakai kalung dan cincin dari penggemar rahasiaku. Aku akan diantar ke sekolah oleh ayah. Saat sampai di sekolah, aku melihat pestanya belum meriah. Teman-temanku belum pada datang. Disudut sana terlihat sosok seperti Puri. Aku menghampiri Puri yang juga terlihat cantik dengan gaunnya.
Hari semakin malam. Pesta dilakukan indoor dan outdoor. Tempatnya? Ya tetap di sekolah. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat Fahri baru datang dan menggandeng seorang perempuan entah siapa. Hatiku panas melihatnya bergandengan. Fahri terlihat keren dengan kemeja panjang biru dan tuxedo-nya.
“Puri, aku mau ke sana dulu ya.”
“Iya. Aku disini nunggu Prili sama Cesil.”
Hingga aku kembali, melihat Prili dan Cesil sudah tiba. Hatiku masih tak tenang. Melihat Fahri dan pacarnya bergandengan ditambah seseorang yang membuatku penasaran. Aku pergi sendirian ke balkon sekolah melihat meriahnya pesta dari atas. Terdengar langkah kaki seperti semakin mendekat. Aku menengok dan melihat Fahri ada di dekatku.
“Hai.” Fahri tersenyum tipis.
“Oh, hai juga.” aku membalas senyumnya.
“Lagi ngapain disini?”
“Biasa, menikmati dari kejauhan. Kamu sendiri ngapain?”
“Aku... Aku mau menyatakan cinta sama kamu.”
“Apa? Bukannya kamu udah punya pacar? Untuk apa nyatain cinta?”
“Ta...tapi...”
Sebelum Fahri menyelesaikan kalimatnya aku berlari memasuki kelas yang menjadi standberfoto. Fahri dan pacarnya menghampiriku yang sedang menangis. Menatap mukaku yang make-up-nya mulai luntur.
“Aku lebih suka liat kamu natural.” sahut Fahri.
“Hai, kenalin aku Ardila sepupunya Fahri. Fahri suka cerita tentangmu loh!”
“Jadi kalian gak pacaran?”
“Enggak Seila.”
Aku kaget mendengar penuturan gadis yang datang bersama Fahri. Air mataku berhenti menetes. Ardila menyodorkan sebungkus tisu untuk aku gunakan.
“Jadi?” tanya Fahri.
“Jadi... Apa?” aku bertanya kembali.
“Jadi... kamu mau jadi pacarku?”
“Emh, gimana ya? Iya deh!”
“Sekarang kita Pacaran ya” Fahri tersenyum sambil mengacak-acak rambutku.
Aku dan Fahri tidak menyadari bahwa adegan tadi telah diabadikan oleh seorang photografer di ruangan itu. Ardila meminta photografer tersebut segera mencetak fotoku dan Fahri. Ardila memberiku foto tersebut. Aku menertawai diriku sendiri karena penampilanku yang berantakan.
Pesta berlangsung semakin meriah. Langitpun bertaburan bintang menambah indah suasana. Kini aku tidak kesepian lagi bila temanku tak ada. Banyak yang memberi selamat kepadaku, termasuk Prili, Puri, dan Cesil. Kali ini akan ada yang mengantarku pulang, seperti yang sering dilakukan Prili.
Setelah merapikan tata riasku, aku kembali menghampiri Fahri yang menungguku. Aku memeluk tubuhku sendiri, kedinginan.
“Kenapa? Dingin?”
“Iya.”
“Sini, aku pakaikan” Fahri memakaikan jasnya di punggungku.
“Dansa yuk.” ajakku.
Aku dan Fahri berdansa. Lagu yang terdengar sangat pas sekali dengan momen yang sedang aku alami.
“Jadi, kau penggemar rahasiaku” ejekku.
“Ya, bisa dibilang begitu” Fahri tersenyum manis.
Selepas berdansa aku rasa aku harus pulang. Fahri mengantarku pulang hingga ke depan pintu gerbang rumahku. Fahri mengantarku dengan motor ninjanya. Aku pulang larut malam berharap ayah tak memarahiku. Kini aku menjalani hari-hari dengan lebih ceria.

Selesai.


























Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna Veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat.

0 comments:

Post a Comment

Contact Us

Phone :

+20 010 2517 8918

Address :

3rd Avenue, Upper East Side,
San Francisco

Email :

email_support@youradress.com

View Blog

Search This Blog

copyright 2017 Putra Riestanop. Powered by Blogger.

Ge-Er Sama Tuhan

Ge-Er Sama Tuhan Semarang, Putra Riestanop. Teman-teman, suatu ketika aku pernah merasa menjadi manusia yang paling diperhatikan ol...

Ads